Ejakulasi.

Bibirnya menciumiku ganas. sepasang bibir itu terkatup-katup, terlihat tidak lelah sama sekali kala menjelajah leher, bahu, dan daguku. aku terenyuh. diam tanpa bahasa dan logika. aku sungguh menikmati percumbuan malam ini. dengan sedikit desah, kubalas bibirnya tak kalah ganas. kami lantas saling menelanjangi diri dihadapan waktu. aku hanyut dalam nikmat, tak mungkin kumenyerah dalam lelah. dalam ketelanjangan ini, kami saling menghabisi satu sama lain hingga yang tersisa hanya dosa. hingga tiba pada satu titik yang membuat kami klimaks dan menyerah.

66314“Kamu puas?” tanya Ratri.
“Maksudmu? Tentu aku puas. Memangnya kenapa?” jawabku yang balik bertanya.
“Aku hanya memastikan saja. Bahwa diantara kita terpuaskan satu sama lain.” jawab Ratri.
“Tentu aku puas. Aku puas, sayangku. P-U-A-S.” seru Andi sambil mengecup kening Ratri dan mereka kembali bercumbu mesra.
Ratri menarik bibirnya dari cengkraman bibir Andi yang berliur untuk memberanikan diri berkata pada kekasihnya itu, ”Aku sebenarnya kurang puas malam ini, sayang.” keluh Ratri sedikit ragu.
“Maksud kamu apa? Kita ulang lagi deh yuk. Aku memang lemah.” ujar Andi sambil bersiap-siap membuka sarungnya.
Tangan Ratri pun langsung sigap mencegah maksud Andi. dia benahi sarung si lelaki dengan mengikatnya erat. Ratri menatap Andi, begitu pula sebaliknya. mereka terlibat dalam pandang yang amat lekat. seolah-olah pandangan tersebut tak mampu menghilangkan keempat bola mata mereka yang menganga. Andi mengamati setiap gerak-gerik kekasihnya yang seminggu lagi akan dinikahkannya itu. mengamati setiap riuh wajah Ratri yang tak tenang. apa gerangan yang membuat wajah kekasihnya itu tampak gusar. dalam hati Andi berpikir, apakah dirinya tak cukup jantan untuk menikahi wanita dihadapannya kini? padahal ini bukan kali pertama dirinya dan kekasihnya bercinta. sehari-hari pun desah kasih mereka ganas-ganas saja –artinya tak ada yang salah dari percintaan mereka. mengapa kali ini ada yang janggal dan sungguh berbeda. mengapa air muka Ratri ini terlihat kecewa? Lantas ia menyambar kembali bibir Ratri untuk kesekian kalinya, namun tiba-tiba wanita itu menolak dan menampar pipi Andi.
“Apa-apaan nih? Kamu ini kenapa sih? Sakit tauk!” keluh Andi sambil mengelus-elus pipinya yang memerah.
“Ini untuk kamu! Karena kamu tahu?” ungkap Ratri penuh wagu.
“Hah? Maksudmu apa sih?” Andi malah balik bertanya dengan mata melotot.
Lalu Ratri memukul Andi, diraihnya ikat pinggang kulit kepunyaan kekasihnya, dan dipecutkan benda panjang itu kesekujur tubuh Andi. Lalu lelaki setengah tambun itu pun lantas menyadari, bahwa Ternyata wanitanya menginginkan pengalaman seksual yang lebih bervariasi dari biasanya. Dengan inisiatif dan kesadaran tersebut, Andi lantas mendesahkan suara ah-ih-uh-eh-oh ke telinga si wanita sambil menahan tawa, “sial.” pikir Andi dalam hati. Ternyata memang benar, wanita seringkali membuat lelaki tak bisa apa-apa dihadapan seks. Dan benar adanya bahwa musuh utama lelaki adalah penisnya sendiri. Bahwa kelewat sering ‘kepala’ yang dibawah itu mengotrol kepala yang diatas. Tapi tiba-tiba pikiran tadi pun lewat saja, seketika egonya sebagai lelaki tertantang untuk menjadi-jadi, sebagai upaya agar tetap mendominasi disegala arena, termasuk arena ranjang seperti saat ini.
“Yuk, sayang. Aku udah gak tahan nih.” Rayu Andi setengah memelas pada kekasihnya Ratri.
“Aku masih senang main-main dengan benda ini, Andi. Gimana, enak kan?” tukas Ratri sambil beberapa kali menyambitkan ikat pinggang yang dipegangnya ke kulit Andi yang memerah.
“Pakkk..” tiba-tiba saja Andi menampar kekasihnya Ratri. Wanita itu pun tertawa terbahak-bahak, memandang kearah lelakinya yang ternyata memiliki ego yang sederajat dengan dirinya.
“Hahaha. Ayo teruskan! Cekik aku, sayang!!!” Pinta wanita bermata sendu itu pada kekasihnya.
Andi pun semakin tegak. Egonya sebagai lelaki kian terpantul-pantul seperti bola basket yang di dribbling kesana-kemari sebelum di passing kearah ring basket. Istilah kata, Andi semakin panas saja dengan kata-kata Ratri yang seperti menantang keperkasaanya sebagai laki-laki.
Andi lalu mengangkat tangan kanannya,mendekati pipi Ratri. Ingin sekali ia tampar lagi wanita ini. Lebih keras dan lebih sakit dari sebelumnya. Tapi tak lekas tangan Andi tak juga bergerak. Tak ditampar wanita dihadapannya ini. Wajah mereka saling berpautan. Dalam malam yang hampir habis, mereka terdiam. Hanya saling memandang. Mereka pun tenggelam dalam pandangan yang semakin tak karuan. Andi melemah dalam ketakberdayaan yang menyandra nafsu kebinatangannya tersebut.
Dalam pandangan yang belum selesai, Ratri menendang meja lampu dekat ranjang yang membuat lampu kaca diatasnya pecah. Membuat seisi ruangan gulita. Pandangan mereka kabur. Jemari Andi meraba-raba dalam gelap, mencoba meraih sejengkal demi jengkal keberadaan Ratri kekasihnya. Tapi tak didapatkan. Andi bangkit dari kasurnya, berjalan-jalan disekitar pecahan kaca lampu yang jatuh. Memanggil Ratri, tapi entah Ratri menghilang dalam gelap malam. Sebuah adegan lain pun baru saja dimulai.
“Ratri..Ratri..Ratri”
Suara Andi memanggil wanita yang kabur ditelan malam sambil meraba-raba seisi ruang. Tak didengarnya suara Ratri yang menjawab. Hanya hening yang semakin lirih dan pekat disisa malam yang terus meraung-raung kedalam benak lelaki muda berbadan sehat juga rupawan ini. Ratri tetap tak menjawab. Ruangan masih gelap dan senyap. Kini Andi seorang diri didalam ruangan yang baru sekali waktu ini dijadikan tempat kencan. Kekasihnya telah lenyap dimakan gelap. Entah setan mana yang telah menelannya tanpa sisa selain gelap.
Namun tiba-tiba saja;
“Dor!”
Suara tembakan terdengar. Suara itu berasal dari sebuah pistol diujung pintu ruangan. Mengenai bahu kiri Andi. Andi jatuh tersungkur menahan sakit dan darah yang menetes dari lengannya. Andi terluka, dan berusaha keras meraih dipan ranjang dihadapannya. Dia tahu dari mana asal suara tembakan berasal. Segera dia berjalan kearah suara tembakan itu dengan langkah gontai. Disana berdiri Ratri seorang diri dengan pistol ditangan kirinya. Pistol itu adalah milik ayahnya yang seorang polisi yang ia curi diam-diam di rumah.
Andi meraih tangan Ratri yang memegang pistol. Dilempar pistol yang terbuat dari kuningan itu ke lantai. Andi lalu menggendong tubuh Ratri dengan lengannya yang masih berdarah dan membantingnya di kasur. Kini Andi mencekik leher Ratri dengan penuh amarah. Kali ini Andi benar-benar menuruti apa yang diinginkan kekasihnya itu: memainkan perannya sebagai lelaki yang dominan, melebehi Ratri. Namun tangan Andi semakin kuat mencengkram leher Ratri. Wanita itu kehabisan nafas. Udara tiba-tiba lenyap dari kerongkongannya. Andi tak menyadari bahwa sang kekasih hampir mati, malah semakin ia tak henti mencekik sambil menyetubuhi kekasihnya itu.
“Ahhhhhhh…aahhhh.” Desah Andi.
Andi merasakan sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia ejakulasi hebat. Panjang sekali. Belum pernah ia rasakan ejakulasi sehebat itu. Ejakulasi yang hanya mampu ia rasakan ketika berahi dan ego saling menikam buas. Pelan-pelan ia lepaskan cengkraman di leher kekasihnya yang kemudian menjadi bekas dikemudian hari. Namun sial, wanitanya telah kehilangan nyawa ketika Andi meronta dalam ejakulasi yang tak biasa.
Andi berdiri dihadapan Ratri, dan masih ejakulasi.
Tersadar bahwa kekasihnya kehabisan nafas,Andi pun panik melihat tubuh Ratri terbujur kaku dijemput maut. Tangan Andi berusaha memompa dada Ratri, berharap yang ia lakukan dapat menolong kekasihnya untuk bernafas lagi. Namun sia-sia, Ratri benar-benar mati. Nadinya tak lagi berdenyut, bola matanya yang melotot seolah terbelalak rupanya sudah tak lagi berkedip. Andi semakin panik. Ia berteriak dan terus berteriak. Tak seorang pun merespon dirinya selain kesunyian dan rasa sesal yang terus menggigil dan menjadi beku.
“Ratri..Ratri maafin aku. Aku sayang kamu.” Suara Andi sesugukan bersama air mata dipelupuk mata.
Laki-laki itupun meraih pistol yang sebelumnya ia buang ketika merebutnya dari tangan sang kekasih. Dengan gugup dan tangis yang masih tak mampu ia seka, ditariklah pelatuk dari pistol berwarna coklat khas pistol aparat penegak hukum di kantor-kantor Polisi tingkat Sektor. Diarahkan pistol itu kearah penis, tapi Andi tak berdaya. Ia semakin larut dalam tangis yang menjadi-jadi. Ego dan berahi rupanya telah melenyapkan keberaniannya untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat.
Andi masih memegang pistol. Matanya masih menangis. Bibirnya masih terisak-isak, tak mampu ia lawan tangisnya, dan ia masih ejakulasi.

****

1 thought on “Ejakulasi.

Leave a comment