Ejakulasi.

Bibirnya menciumiku ganas. sepasang bibir itu terkatup-katup, terlihat tidak lelah sama sekali kala menjelajah leher, bahu, dan daguku. aku terenyuh. diam tanpa bahasa dan logika. aku sungguh menikmati percumbuan malam ini. dengan sedikit desah, kubalas bibirnya tak kalah ganas. kami lantas saling menelanjangi diri dihadapan waktu. aku hanyut dalam nikmat, tak mungkin kumenyerah dalam lelah. dalam ketelanjangan ini, kami saling menghabisi satu sama lain hingga yang tersisa hanya dosa. hingga tiba pada satu titik yang membuat kami klimaks dan menyerah.

66314“Kamu puas?” tanya Ratri.
“Maksudmu? Tentu aku puas. Memangnya kenapa?” jawabku yang balik bertanya.
“Aku hanya memastikan saja. Bahwa diantara kita terpuaskan satu sama lain.” jawab Ratri.
“Tentu aku puas. Aku puas, sayangku. P-U-A-S.” seru Andi sambil mengecup kening Ratri dan mereka kembali bercumbu mesra.
Ratri menarik bibirnya dari cengkraman bibir Andi yang berliur untuk memberanikan diri berkata pada kekasihnya itu, ”Aku sebenarnya kurang puas malam ini, sayang.” keluh Ratri sedikit ragu.
“Maksud kamu apa? Kita ulang lagi deh yuk. Aku memang lemah.” ujar Andi sambil bersiap-siap membuka sarungnya.
Tangan Ratri pun langsung sigap mencegah maksud Andi. dia benahi sarung si lelaki dengan mengikatnya erat. Ratri menatap Andi, begitu pula sebaliknya. mereka terlibat dalam pandang yang amat lekat. seolah-olah pandangan tersebut tak mampu menghilangkan keempat bola mata mereka yang menganga. Andi mengamati setiap gerak-gerik kekasihnya yang seminggu lagi akan dinikahkannya itu. mengamati setiap riuh wajah Ratri yang tak tenang. apa gerangan yang membuat wajah kekasihnya itu tampak gusar. dalam hati Andi berpikir, apakah dirinya tak cukup jantan untuk menikahi wanita dihadapannya kini? padahal ini bukan kali pertama dirinya dan kekasihnya bercinta. sehari-hari pun desah kasih mereka ganas-ganas saja –artinya tak ada yang salah dari percintaan mereka. mengapa kali ini ada yang janggal dan sungguh berbeda. mengapa air muka Ratri ini terlihat kecewa? Lantas ia menyambar kembali bibir Ratri untuk kesekian kalinya, namun tiba-tiba wanita itu menolak dan menampar pipi Andi.
“Apa-apaan nih? Kamu ini kenapa sih? Sakit tauk!” keluh Andi sambil mengelus-elus pipinya yang memerah.
“Ini untuk kamu! Karena kamu tahu?” ungkap Ratri penuh wagu.
“Hah? Maksudmu apa sih?” Andi malah balik bertanya dengan mata melotot.
Lalu Ratri memukul Andi, diraihnya ikat pinggang kulit kepunyaan kekasihnya, dan dipecutkan benda panjang itu kesekujur tubuh Andi. Lalu lelaki setengah tambun itu pun lantas menyadari, bahwa Ternyata wanitanya menginginkan pengalaman seksual yang lebih bervariasi dari biasanya. Dengan inisiatif dan kesadaran tersebut, Andi lantas mendesahkan suara ah-ih-uh-eh-oh ke telinga si wanita sambil menahan tawa, “sial.” pikir Andi dalam hati. Ternyata memang benar, wanita seringkali membuat lelaki tak bisa apa-apa dihadapan seks. Dan benar adanya bahwa musuh utama lelaki adalah penisnya sendiri. Bahwa kelewat sering ‘kepala’ yang dibawah itu mengotrol kepala yang diatas. Tapi tiba-tiba pikiran tadi pun lewat saja, seketika egonya sebagai lelaki tertantang untuk menjadi-jadi, sebagai upaya agar tetap mendominasi disegala arena, termasuk arena ranjang seperti saat ini.
“Yuk, sayang. Aku udah gak tahan nih.” Rayu Andi setengah memelas pada kekasihnya Ratri.
“Aku masih senang main-main dengan benda ini, Andi. Gimana, enak kan?” tukas Ratri sambil beberapa kali menyambitkan ikat pinggang yang dipegangnya ke kulit Andi yang memerah.
“Pakkk..” tiba-tiba saja Andi menampar kekasihnya Ratri. Wanita itu pun tertawa terbahak-bahak, memandang kearah lelakinya yang ternyata memiliki ego yang sederajat dengan dirinya.
“Hahaha. Ayo teruskan! Cekik aku, sayang!!!” Pinta wanita bermata sendu itu pada kekasihnya.
Andi pun semakin tegak. Egonya sebagai lelaki kian terpantul-pantul seperti bola basket yang di dribbling kesana-kemari sebelum di passing kearah ring basket. Istilah kata, Andi semakin panas saja dengan kata-kata Ratri yang seperti menantang keperkasaanya sebagai laki-laki.
Andi lalu mengangkat tangan kanannya,mendekati pipi Ratri. Ingin sekali ia tampar lagi wanita ini. Lebih keras dan lebih sakit dari sebelumnya. Tapi tak lekas tangan Andi tak juga bergerak. Tak ditampar wanita dihadapannya ini. Wajah mereka saling berpautan. Dalam malam yang hampir habis, mereka terdiam. Hanya saling memandang. Mereka pun tenggelam dalam pandangan yang semakin tak karuan. Andi melemah dalam ketakberdayaan yang menyandra nafsu kebinatangannya tersebut.
Dalam pandangan yang belum selesai, Ratri menendang meja lampu dekat ranjang yang membuat lampu kaca diatasnya pecah. Membuat seisi ruangan gulita. Pandangan mereka kabur. Jemari Andi meraba-raba dalam gelap, mencoba meraih sejengkal demi jengkal keberadaan Ratri kekasihnya. Tapi tak didapatkan. Andi bangkit dari kasurnya, berjalan-jalan disekitar pecahan kaca lampu yang jatuh. Memanggil Ratri, tapi entah Ratri menghilang dalam gelap malam. Sebuah adegan lain pun baru saja dimulai.
“Ratri..Ratri..Ratri”
Suara Andi memanggil wanita yang kabur ditelan malam sambil meraba-raba seisi ruang. Tak didengarnya suara Ratri yang menjawab. Hanya hening yang semakin lirih dan pekat disisa malam yang terus meraung-raung kedalam benak lelaki muda berbadan sehat juga rupawan ini. Ratri tetap tak menjawab. Ruangan masih gelap dan senyap. Kini Andi seorang diri didalam ruangan yang baru sekali waktu ini dijadikan tempat kencan. Kekasihnya telah lenyap dimakan gelap. Entah setan mana yang telah menelannya tanpa sisa selain gelap.
Namun tiba-tiba saja;
“Dor!”
Suara tembakan terdengar. Suara itu berasal dari sebuah pistol diujung pintu ruangan. Mengenai bahu kiri Andi. Andi jatuh tersungkur menahan sakit dan darah yang menetes dari lengannya. Andi terluka, dan berusaha keras meraih dipan ranjang dihadapannya. Dia tahu dari mana asal suara tembakan berasal. Segera dia berjalan kearah suara tembakan itu dengan langkah gontai. Disana berdiri Ratri seorang diri dengan pistol ditangan kirinya. Pistol itu adalah milik ayahnya yang seorang polisi yang ia curi diam-diam di rumah.
Andi meraih tangan Ratri yang memegang pistol. Dilempar pistol yang terbuat dari kuningan itu ke lantai. Andi lalu menggendong tubuh Ratri dengan lengannya yang masih berdarah dan membantingnya di kasur. Kini Andi mencekik leher Ratri dengan penuh amarah. Kali ini Andi benar-benar menuruti apa yang diinginkan kekasihnya itu: memainkan perannya sebagai lelaki yang dominan, melebehi Ratri. Namun tangan Andi semakin kuat mencengkram leher Ratri. Wanita itu kehabisan nafas. Udara tiba-tiba lenyap dari kerongkongannya. Andi tak menyadari bahwa sang kekasih hampir mati, malah semakin ia tak henti mencekik sambil menyetubuhi kekasihnya itu.
“Ahhhhhhh…aahhhh.” Desah Andi.
Andi merasakan sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia ejakulasi hebat. Panjang sekali. Belum pernah ia rasakan ejakulasi sehebat itu. Ejakulasi yang hanya mampu ia rasakan ketika berahi dan ego saling menikam buas. Pelan-pelan ia lepaskan cengkraman di leher kekasihnya yang kemudian menjadi bekas dikemudian hari. Namun sial, wanitanya telah kehilangan nyawa ketika Andi meronta dalam ejakulasi yang tak biasa.
Andi berdiri dihadapan Ratri, dan masih ejakulasi.
Tersadar bahwa kekasihnya kehabisan nafas,Andi pun panik melihat tubuh Ratri terbujur kaku dijemput maut. Tangan Andi berusaha memompa dada Ratri, berharap yang ia lakukan dapat menolong kekasihnya untuk bernafas lagi. Namun sia-sia, Ratri benar-benar mati. Nadinya tak lagi berdenyut, bola matanya yang melotot seolah terbelalak rupanya sudah tak lagi berkedip. Andi semakin panik. Ia berteriak dan terus berteriak. Tak seorang pun merespon dirinya selain kesunyian dan rasa sesal yang terus menggigil dan menjadi beku.
“Ratri..Ratri maafin aku. Aku sayang kamu.” Suara Andi sesugukan bersama air mata dipelupuk mata.
Laki-laki itupun meraih pistol yang sebelumnya ia buang ketika merebutnya dari tangan sang kekasih. Dengan gugup dan tangis yang masih tak mampu ia seka, ditariklah pelatuk dari pistol berwarna coklat khas pistol aparat penegak hukum di kantor-kantor Polisi tingkat Sektor. Diarahkan pistol itu kearah penis, tapi Andi tak berdaya. Ia semakin larut dalam tangis yang menjadi-jadi. Ego dan berahi rupanya telah melenyapkan keberaniannya untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat.
Andi masih memegang pistol. Matanya masih menangis. Bibirnya masih terisak-isak, tak mampu ia lawan tangisnya, dan ia masih ejakulasi.

****

Be(re)ncana

Jernih air berganti keruh, rusak susu sebelangga
Tak kala Bumiaji digertak hotel The Rayja

Buldozer datang,
Menghancur ruang

Kalang kabut dalam kilang sengkarut batas makna
Antara rencana yang lantas kabur oleh
Bencana

Sumber mata air berubah makna
Hilang bersama rona
Yang dibawa manusia lagi-lagi atas persetujuan adab, alih-alih kemanusiaan yang meronta

“Kami hanya be(re)ncana. Kami hendak memanusiakan manusia dengan sebongkah bata dan beton yang kokoh menjulang, menerjang mata air Gemulo.”
Ceruk itu semakin dalam, tak pelak jika pledoi itu yang diungkapkan

Buldozer datang,
Menghancur ruang

Sumber air semakin tertimbum, demi sebuah wajah dunia, katanya

Kian Rupa, Kian Lupa

Kepulan asap merajai negri
Sampah berceceran dari hulu ke hilir
Kota semakin porak poranda oleh manusia
Lantas apa?

Mereka masih berseru “Salam satu jiwa”
Padahal air tengah krisis untuk Bumi Arema
Kenyataannya, mata air tersisa 50% dan sebentar lagi kita mati dalam haus dalam penjara yang kau buat sendiri!
Sementara kota hanya tersaji dalam lantunan kata
Mereka yang mengaku manusia lantas terlalu sibuk merias kota
Hanya untuk luka

Ah,
Hanya mengeluh
Dengan semua benci dan caci tumpah ruah olehmu di ruang maya
Lantas apa?

Kota ini dan sekitarnya tengah gaduh
Tengah luruh
Oleng bak perahu nuh
Tapi ini bukan perahu nuh, melainkan perahu keadaban manusia yang berjejal semakin jauh dari gelombang angan alam semesta

Ah, manusia
Kian rupa, kian lupa
Mari merana dalam haus dan durjana

Pagi dan Kota

Air mengalir membentuk rintik diatas bebatuan pada dini hari
Waktu dimana pagi terlalu dini memproyeksikan dirinya sebagai pagi

Pun malam,
Nampak terlalu kelam untuk sekedar membagi terang bulan pada rona menuju fajar yang diam-diam lihai menular kantuk ke diri, alih-alih sekedar terjaga hingga terang muncul, hilang temaram

Ah, pula, adzan datang
Meletup-letup bagai orasi perjuangan

Adalah pagi… pagi yang kerap kita sesali
Ia hadir kembali, sebening embun yang menggulung daun kedalam basah hujan selepas subuh mengalun, meresah.. Hilang dalam basah

Dialah pagi

Entitas dari hari yang tak pantas kita kutuki,
Ditengah jejal manusia yang silih berganti bercerabut dalam ruang dan jalan kota yang semakin melengkengking oleh bising dasawarsa perkakas tua

Pagi adalah kenangan
Yang lenggang datang untuk memperjelas kebingunganmu meletakan titik atau koma selepas trauma

Pada kota

Pembacaan Sederhana Saya Terhadap Senja Merah Jambu*

Puisi, kerap kali manusia membuat pemakluman demi pemakluman dalam kata yang seolah indah dalam term ini. Puisi lahir dari berbagai pergolakan dan keresahan sang penulis, begitu yang diungkapkan Tengsoe Tjahjono, seorang Penulis yang dulu buku puisinya pernah saya ulas diawal tahun lalu dimusim yang sama seperti sekarang ini. Musim ini membawa saya pada kenyataan baru; Antologi Puisi Senja Merah Jambu milik Kelas Menulis Sastra Mahasiswa Pendidikan Sastra Indonesia FIB Brawijaya. Ketika pertama dihadapkan pada buku ini, judul yang tertulis di sampul depan buku ini adalah Senja Merah Jambu, dan membuka lembar berikutnya, saya menemukan kenyataan baru bahwa judul asli buku ini; (Senja Merah Jambu) Dan Beberapa Puisi Sederhana Lainnya. Saya bertanya dalam hati,  “kenapa judul itu tidak disertakan didepan covernya saja? Bukankah akan lebih indah?” Celetuk saya dalam batin. Maka lembar demi lembar saya baca puisi-puisi itu, saya hayati, mencoba tenggelam dalam pergolakan yang tertuang dalam kata para penulis yang mengantarkan saya pada makna baru; kesederhanaan.

Dalam pengantar buku ini Nanang Bustanul Fauzi selaku dosen pengampu mata kuliah Kelas Menulis Sastra berkata, “..Berpuisi adalah tentang menemukan hal-hal yang sederhana, dalam artian padat makna, dicapai dengan penggunaan alat-alat yang telah disebut tadi dan meramunya dengan takaran yang tepat.” Agaknya pendapat itu ada benarnya setelah membaca satu puisi berjudul ‘Doa MU IBU’ karya Ni’matul Fatonah (selanjutnya NF). Dalam puisinya Fatonah seolah ingin melukiskan bagaimana gagahnya seorang semangat anak atas bayang-bayang doa dari sang ibu.

Dalam alpa ku teringat sayup-sayup lirik mu
Untaian kata dalam pintalan doa
Masih terasa jelas dalam lukisan mata ku
Bayangan khusu’ sujud tafakurmu
Dalam sepertiga malam itu
Kau mengharap dengan sangat
Meminta dengan penuh keyakinan
Tuk impian yang terpahat dalam surga
Impian yang jelas dan tegas
Meski tanpa ujaran aksara
Doa-doa mu ibu,,,
Adalah bahan bakar pengobar semangat ku

Agak kurang bijak jika kemudian kita menyematkan label puisi religius pada karya Ni’matul Fatonah ini. Namun tak bisa dipungkiri bahwa penggalan makna diatas mengandung nilai-nilai rohani yang coba diutarakan oleh NF. Bagaimana kecintaan sang bunda kepada anaknya didalam doa-doa malamnya. Bahwa tak ada satu derajat yang bisa memungkiri bagaimana seorang ibu tidak bisa mencintai anaknya, bahkan dalam doa selalu disebut nama anaknya meskipun yang diucap bukanlah sepatah atawa dua patah aksara, namun bunyi dan puji-pujian sesembah sesujud pada Yang Maha Kuasa. Doa-doa Mu IBU mengantarkan saya pada titik tenang nan reflektif ketika mengingat sosok ibu dalam hidup. Ibu yang digambarkan oleh NF dalam puisinya adalah gambaran nyata yang serupa milik saya –jika kepemilikan masih memungkinkan dirinya untuk ada— maka saya dengan segala macam problema yang mungkin berbeda dengan penulis puisi ini, memutuskan untuk merasakan kembali apa yang ia sebut sebagai ‘’..Bahan bakar pengobar semangat ku.’’ yang itu semua hanya mampu dirasakan ketika jiwa sedang melayang dalam padam dan kesenyapan. Maka yang tergambar dalam “Dalam alpa ku teringat sayup-sayup lirik mu.’’ dalam kebuntuan yang disebut NF sebagai “alpa’’ disanalah kita sebagai manusia yang lemah ini mengenang memori sebagai sebuah pencapaian yang mampu meluluhlantakan rasionalitas menjadi sesuatu yang melankoli dan membelenggu kedalam ruang dan waktu.

Pun akan Anda temui betapa luar biasanya anjuran untuk tetap menjaga atawa sekedar mengagung-agungkan kenangan di dalam bait-bait Senja Merah Jambu karya Rizal Ariffin (selanjutnya RA). Betapa pun buruknya harapan dan kecewa di masa lalu, agaknya tetap kita simpan tanpa harus berusaha mengingat-ingat apa yang disebut RA sebagai “serpihan mimpi yang kuhamburkan” lihat saja penggalan milik RA yang tak lain tak bukan sebagai pledoi masa lalu yang hendak dia jadikan pemalkuman atas apa yang berimbas untuk hari ini. Baca bait-bait dibawah ini:

Di senja merah jambu
Yang merona seperti pipimu
Aku pernah menaburkan mimpi
Kau pun menyandarkan harapan bukan?
Dan kita sama-sama mengumbar kemesraan
Lalu mendung menggulung
Satu lagi kemesraan yang robek
Dalam gerimis
Sementara aku belum mencatatnya sebagai kenangan
Sementara kau masih saja menyalahkan waktu
Dan aku memaki gurat-gurat takdir
Ah,
Inilah cinta kita
Serpihan mimpi yang kuhambur
Mungkin sebagai kenangan yang luput dari ingatan

Penulis dengan baik telah berhasil memainkan metafora sederhana tentang alam (dalam hal ini adalah senja). Bukan barang baru tentunya bahwa puisi berisi metafora yang berepetisi seperti hujan dan senja. Seperti halnya Seno Gumira yang tergila-gila akan senja, RA disini mencoba menyiratkan fenomena alam bernama Senja sebagai metafora akan kisah cintanya. Karena senja mengisyaratkan asosiasi tentang banyak hal, mulai dari waktu hidup manusia, suasana romantis sore hari, hingga yang paling tragis; perpisahan. Pun penambahan “merah jambu” mengisyaratkan segala bentuk cinta dan romantsime didalamnya. 

maka tak pelak lagi untuk tidak membaca antologi puisi Senja Merah Jambu, yang toh memang berisi puisi-puis romantis dengan diksi sederhana. tidak terlalu pretensius apa lagi njelimet bagi pembaca awam seperti saya.

*tulisan sebelumnya telah dipresentasikan dalam acara Parade Sastra: Bincang-bincang Karya Sastra Malang di Wisma Kalimetro, Januari lalu.

Welcome Home!

Halo, apa kabar? it’s been a while.

Seperti halnya manusia pada umumnya, saya pun ternyata penuh luka dan semrawut. Lihat saja postingan di blog ini yang carut-marut akibat tak terurus.  Pada mulanya adalah waktu yang mengantarkan saya pada luka setengah tahun lalu ketika Ibu saya meninggal dunia dan beberapa kejaadian aneh lainnya macam ditangkap babinsa Desember lalu. Sejak itulah saya mulai jarang merawat blog yang semakin ditengok, semakin terlihat jaring laba-laba disana-sini. Banyak sekali kejadian lucu, aneh, menyedihkan yang saya temui selama saya tidak memposting tulisan untuk bungapenuhcerita.wordpress.

Memang benar bahwa hukum writter’s block itu nyata adanya, dan saya kira saya sempat mengalami hal tersebut. Alasan lain mengapa saya semakin jarang memperbaharui tulisan di laman ini adalah; saya sempat lupa sandi blog ini (hahaha) sebuah perkara remeh yang lantas berimbas pada produktifitas blog ini. Juga sebetulnya saya tak hanya menulis di medium blog saja kok. Sehari-hari saya tetap menulis dibuku notes yang berjumlah 2 buah dan saya tengah menyiapkan sebuah proyek tulisan (ehm, yang ini masih rahasia sih, hehehe) jadi tunggu saja ya tulisan-tulisan si bungabond alias Bunga Irmadian.

Sejujurnya saya merasa bersalah sekali karena telah menelantarkan blog ini selama setengah tahun lebih. Ingin sekali saya posting semua cerita yang tak sempat saya tuturkan pada khalayak blog –entah kalau memang blog ini memiliki pengunjung yang nyata— ah, tapi tak mungkin, karena semua cerita, saya kira, bersifat sangat pribadi. Mulai dari Ibu saya yang meninggal dunia di bulan Juli tahun kemarin, berpisah dengan partner saya yang sekarang menjadi mantan (nah, saya menghindari curhat ini! Aih, ini curhat! Curhat saya banal!), bertemu orang-orang gila,menghadiri acara-acara edan, sampai mendadak jadi seleb setelah sebelumnya dijemput oleh aparat militer saat saya tengah kuliah. Rasanya cerita itu tak mungkin jadi singkat seperti saat saya menyebutkannya tadi. Ingin saya pindahkan, tapi kok yah nanti malah merusak citra blog ini sebagai blog iseng yang sok serius yah. Istilahnya, saya tak ingin memperbanyak drama yang seolah-olah seperti sinetron atawa FTV saja dalam blog ini. Sekalipun medium ini adalah blog milik pribadi dimana si empu blog ini bebas bercerita apa saja –sekalipun itu adalah curhat— cuma ya, nanti saja, biar saya hadirkan dalam bentuk lain yang sudah dipoles oleh alur & plot selayaknya fiksi.

Barangkali kedepannya blog ini akan saya isi dengan fiksi. Bukan lagi curhat-curhat banal seperti yang sudah-sudah. Eh, tapi apakah manusia –apa lagi manusia urban bersosial media— akan tahan menghindari curhat disetiap apa yang hendak ia sampaikan? Pun dalam medium se-viral internet hari ini. Bahkan mulai muncul beberapa situs yang memang melanggengkan tradisi curhat tersebut (gak usah sebut merek, Anda pasti tau) yang kemudian mempengaruhi gaya menulis saya yang agak agak nge-pop selayaknya situs-situs curhat itu karena saking seringnya membaca curhat mereka disana.
Ah, curhat itu manusiawi kok. Percayalah, curhat adalah titik fenomenologis dimana seorang mereka-reka kembali pengalaman/peristiwa yang ia alami sebelumnya secara psikologis, dan dalam bawah alam sadar melahirkan kesadaran untuk membahasakan kembali menjadi sebuah bentuk baru bahasa; komunikasi. Jadi, jangan suka mengkerdilkan seseorang karena curhatnya. Seolah-olah seorang  yang gemar bercurhat tak ubahnya bak pelaku kejahatan yang patut dikriminilkan. Bukankah curhat justru merupakan upaya mengakrabkan diri satu sama lain?

Eits, saya mulai merancau. Mulai tidak jelas. Kalau saya teruskan, malah semakin saya mencari celah untuk melancarkan curhat. Sialan.
Seperti itulah gejala-gejala kemandekan yang saya tularkan untuk blog saya ini. Kedepannya saya berharap pada diri saya sendiri untuk lebih sering merawat komunikasi pada blog yang saya cintai ini, meski sulit rasanya menjelaskan apa yang dimaksud dengan cinta. Mboh, saya ra paham.

Terima kasih telah mendengarkan.  

Semangat Baru CRIMSONDIARY Lewat Senja

CRIMSONDIARY
Senja
2014/Barongsai Records

ImageCover album ‘Senja’

 

Sejak diluncurkan pada 10 Mei 2014 album ini terus melejit dengan sejuta reaksi kimia didalamnya. Launching album perdana dari CRIMSONDIARY sendiri dilaksanakan di public-house bernama Houtenhand. Sebuah public-house dipinggiran jalan itu turut menjadi pelaku bagi perkembangan skena musik lokal di kota Malang tak terkecuali CRIMSONDIARY. Tiga minggu yang lalu pesta itu riuh mengantarkan Senja. Buah yang ditunggu-tunggu bagi penikmat musik Shoegaze, khususnya bagi fans CRIMSONDIARY.
Pesta dibuka dengan opening-act dari Intenna yang mengantarkan beberapa judul lagu baru. Sedangkan CRIMSONDIARY sendiri tampil sekitar pukul setengah sepuluh malam. Bermodalkan 15 lagu, penonton kian berjingkrak, bernyanyi dalam keriuahan yang membahana. 7 lagu diantaranya merupakan lagu dari album baru.

Seperti halnya ‘Maybe’ yang lebih dahulu mengantarkan CRIMSONDIARY pada popularitas, kemudian, saya jatuh hati dengan ‘Pagi Baru’ yang merupakan trek pertama di Senja. Di lagu ini Anda akan melayang bersama angin yang membawa Anda pada mimpi tertinggi di ujung pagi yang baru. Dengan tempo yang lebih menghentak, serta riff gitar yang lebih kasar, Anda akan terbuai pada semangat di pagi yang hembuskan semangat baru.

Dilanjutkan dengan trek kedua di album ini, ‘You and Me’ masih menghentakan emosi yang meledak, namun dengan ritme yang masih berbenturan. Hardikan gitar yang dipadu-padankan dengan hentakan drum yang selalu berbenturan. Benturan yang menyehatkan bagi Anda yang suka beraktifitas di pagi hari. Coba dengarkan! Trek ketiga yang berjudul ‘Lara’ diawali intro yang mengingatkan saya pada nomor dari My Bloody Valentine, yang sarat akan distorsi fuzz. Mendengar intro awal lagu ini, saya kira lagu ini akan seperti lagu Shoegaze british kebanyakan. Namun, setelah mendengar keseluruhan, ternyata masih ada sedikit suguhan ala ala post-rock didalamnya. Di trek keempat, CRIMSONDIARY sama sekali tidak merubah ‘Maybe’ kedalam bentuk apapun kecuali ‘Maybe’ yang telah saya sukai sebelumnya. Dengan mixing yang lebih bersih dari sebelumnya, ‘Maybe’ masih berbicara tentang misteri dalam kehidupan.

Di trek kelima dengan judul, ‘Berpijak’ masih memainkan distorsi Shoegaze yang riuh dengan semburan riff gitar yang kasar disana-sini. Gebukan drum dilagu ini masih akan menyulut Anda kedalam semangat yang meluber di pagi hari. Intro gitar ditengah lagu ini pun semakin membuat Anda berpijak pada keriuhan yang penuh. Trek keenam yang berjudul ‘Angkuh’ yang penuh amarah, semakin beringas dengan gaung suara dan ritme yang panjang diawal lagu. Dengan tempo yang melambat, lagi-lagi distorsi yang khas shoegaze hadir ditengah disela sela melodi gitar yang panjang.

Di lagu terakhir, ‘Senja’ yang merupakan judul dari album anyar milik CRIMSONDIARY ini, masih bercerita tentang semangat yang masih membara sedari pagi tadi. Di lagu ini Bem Walessa si vokalis, seolah ingin bercerita dengan gaya yang sedikit pilu. Dengan menambahakan narasi bule di intro awal, lagu ini semacam story telling tentang bagian hari bernama Senja. Dibagian reff baru terdengar riff yang saling bersautan dengan drum yang menghentak.

 

Kampung Keramik Dinoyo Malang : Fluktuasi, Seiring Permintaan Konsumen yang Beragam

Kampung Keramik Dinoyo, begitulah namanya. Kampung yang akan memanjakan Anda dengan aneka kerajinan dari keramik. Terletak di jalan MT. Haryono Dinoyo, Malang sebuah kampung yang bisa dijadikan ‘surga’ bagi penggila kerajinan keramik. Menyusuri kampung ini tak henti-hentinya menjumpai aneka ornamen yang terbuat dari Keramik, tak terkecuali Art Rock Café yang terletak 500 meter dari gang Kampung Keramik Dinoyo. Tak hanya kafé berdekorasi keramik, namun ada sekolah, pagar rumah, tempat sampah diseputaran kampung ini dihiasi dengan keramik. Karena Kampung Keramik Dinoyo ini memang terkenal dengan usaha sentra keramiknya. Sudah sekitar tahun 1957 berdiri sebuah paguyuban pengrajin keramik di kampung ini.

Seperti yang diungkapkan salah satu pengrajin keramik hias bernama Syamsul Arifin (59) yang mengaku bahwa ia telah mereintis usahanya sejak tahun 1996. Syamsul bercerita, keberadaan kampung keramik sudah ada sejak tahun 1957. Berawal dari kerajinan gerabah yang digunakan masyarakat sekitar kampung untuk membuat tempat air, teko, kendi dan segala peralatan rumah tangga. Syamsul mengungkapkan, perkembangan kerajinan keramik terus berevolusi, “Dari gerabah ke porselen. Dari tanah liat sawah, mengarah ke tanah liat putih, berkembang terus sampe sekarang,” ungkapnya. Agresi militer pun yang menyebabkan masyarakat berimigrasi, dan akhirnya bermukim di Malang. Banyak diantara mereka yang memiliki kemampuan dalam membuat keramik. “Berawal dari daerah betek (daerah sekitar Jalan Panjaitan) juga dan akhirnya berubah porselen, karena memang idenya berasal dari sini,” Tutur lelaki berputri 2 ini.

ImageKampung Keramik Dinoyo, Malang (Sebelah selatan)

Perkembangan Sentra Keramik Dinoyo terus melesat, ketika perusahaan induk keramik berdiri. Perusahaan itu bernama KDM (Keramik Dinoyo Malang) yang khusus membuat keramik-keramik induk. Pabrik induk lebih membuat keramik untuk teknik seperti, konduktor listrik, dan gigi motor yang menggunakan keramik. Dengan berdirinya perusahaan induk keramik, maka semakin berkembang pula usaha sentra keramik home industry di Kampung Keramik Dinoyo ini. Dijelaskan pula oleh Syamsul Arifin bahwa, pemerintah dari Dinas Perdagangan mendirikan UPT (Unit Pelayanan Teknis dan Penggadaan bahan baku) yang menyediakan bahan porselen olahan yang siap pakai untuk para pengrajin keramik. UPT tersebar di berbagai provinsi, tak terkecuali Syamsul mendapatkan bahannya dari luar Malang, “Bahan baku kami dapat dari Malang Selatan, Blitar, Tuban, ada pula dari Bangka Belitung,” ujar pria setengah baya ini. Syamsul sendiri merupakan pengrajin keramik hias yang memiliki 8 orang karyawan. Tiap karyawannya bisa menghasilkan 5-20 kerajinan keramik dalam satu minggu. Omset yang didapatkan cukup menggiurkan, antara 5-10 juta perbulan, dan dipotong biaya produksi sebesar 30% dari keuntungan tersebut.

Image

Gerai milik Syamsul Arifin yang menjual berbagai kerajinan keramik

Tak hanya porselen sebagai bahan dasarnya, di Kampung Keramik Dinoyo yang memiliki sekitar 34 Sentra Usaha Keramik, baik itu pengrajin, pegadang, atau kombinasi dari keduanya, ada yang mengembangkan kerajinan dari gip. Selain lebih efisien, karena tidak memerlukan proses pembakaran layaknya porselen, pembuatan keramik dari gip cenderung mudah. Rukayah (35), pemilik Toko Souvenir Irama Batu misalnya mengaku, “Pembuatan keramik berbahan gip itu hemat bahan bakar, cukup dijemur, proses pengelarannya langsung jadi tidak seribet pakai tanah liat atau porselen,” kesah Rukayah. Usaha yang ia rintis sejak 1989 ini terus mengalami fluktuasi layaknya usaha Syamsul Arifin seiring permintaan kerajinan keramik yang beragam. “Karena selera konsumen yang beragam, kami (produsen) terkadang masih belum seutuhnya memenuhi permintaan konsumen. Kami masih sebagian kecil, namun prospek sentra keramik ini masih cukup panjang lah,” tutur Syamsul.

Keberadaan keramik seharusnya memang terjaga. Alih-alih permintaan masyarakat yang beragam akan keramik hias. Semestinya dapat dimanfaatkan oleh pengrajin hias dengan memberikan modal pelatihan kepada karyawan dan pengrajin yang bergerak di bidang keramik. Hal senada diungkapkan Rosmanah salah satu pengrajin sekaligus karyawan salah satu Sentra Usaha Keramik di kampung itu bahwa pemerintah secara rutin memberikan pelatihan. “Pelatihan diadakan oleh Dinas Disperindak, Koperasi UKM, dan Dinas Pariwisata,” aku Rosmanah.

permintaan akan kerajinan yang cenderung personal. Seperti untuk souvenir, sekarang tak hanya pernikahan yang butuh souvenir, tetapi ulang tahun, orang pindah rumah, mereka bisa menggunakan keramik sebagai souvenir. “Saya lebih suka kasih hiasan dari keramik seperti ini untuk hadiah ulang tahun sahabat saya,” ujar Amanda salah satu penikmat kerajinan keramik yang datang ke salah satu toko keramik di kampung itu.

Kerajinan keramik mestinya terus lestari seiring perkembangan zaman. Tidak hanya sebagai hiasan di tiap pojok ruangan rumah. Tiap peralatan rumah seperti asbak, media untuk spa, gelas, asbak, sendok, gelas, tempat sabun, bahkan tungku untuk memasak bisa diaplikasikan dengan keramik. Juga kreatifitas sang pengrajin Sentra Usaha dalam memenuhi keberagaman permintaan dari konsumen adalah mutlak untuk keberlangsungan usaha keramik yang terus berfluktuasi seiring perkembangan waktu. [bng]

*Tulisan ini dimuat di Majalah Kavling 10 edisi 2013 di rubrik Sosial Budaya.

 

Againts The Death

Ada yang berubah, ketika sebuah kapal tak lagi berlabuh di dermaga. Ketika hujan tak lagi membuatku membaui tanah yang hangat. Ada yang berubah, ketika kau menghilang dalam amarah. Dalam durja yang memaki jiwa. Kini kau hapus namaku dalam ingatanmu yang memanggil namaku. Memarahi takdir. Ah, sudahlah kita jangan lagi membicarakan takdir! Siapalah kita ini. Toh, tak ada yang harus kita perjuangkan untuk memiliki takdir. Untuk bersama. Untuk menjadi satu suara. Siapa kamu? Siapa aku? Omong-omong soal takdir, kini aku telah berbahagia mendapati takdir yang tak lagi sama ketika ku masih bersamamu. Kamu tahu, kan? Aku selalu berusaha untuk lebih baik dari waktu ke waktu.

Kamu mau tahu? Sekarang laut mulai surut ketika ku tertawa. Matahari pucat pasi kala kubercerita padanya tentang betapa hidup ini amat berarti. Semua api itu telah padam, semenjak aku bercerai pada hasrat-hasrat yang tak tentu arahnya. Sejak kumemutuskan untuk membencimu, kematian. Kebencian itu sengaja kubangun, karena kumenyadari betapa aku jatuh cinta untuk selalu tertawa. Untuk berbagi bahagia pada dunia. Dunia yang kian nyata dan tak lagi semu adanya. Ku tak ingin lagi berbagi hari dengan sepi, apa lagi kematian yang entah kapan datang. Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Selamat tinggal kematian.

Pulang Ke Nisan Duka

Blog ini terlihat amat kacau balau. Entah mengapa diri ini jadi begitu malas untuk sekedar berziarah dalam blog yang saya sebut sebagai ‘Nisan Duka’ ini. Ya, memang isinya saja bukan hal-hal yang substansial yang perlu dikonsumsi untuk para pemuda-pemudi trendi masa kini. Blog ini hanya berisi hal-hal yang kurang pretensius, cenderung menghadirkan snobisme yang kacrut dan asal bunyi. Maklum saja, saya hanya orang bodoh yang merasa gagap ditengah-tengah jubelan manusia. Akhirnya saya hanya senang jika menghabiskan waktu dengan bersandar pada kata, ketimbang berkoloni dengan manusia-manusia penuh gaya. Tapi semenjak saya kenal dunia, semua berubah. Nisan Duka ini semakin mendamba luka. Yang tersisa hanya sepi diatas waktu yang terus mengalir.

Saya merasa berdosa karena telah menjerumuskan Nisan Duka ke liang yang paling sepi. Maafkan saya yang dungu dan lalai ini. Entah maaf pun terasa percuma. Toh, hanya permainan kata tanpa makna. Baiknya dikemudian hari, saya akan lebih sering memposting apa pun yang saya pikir pantas untuk menemani Nisan Duka. Bukan Cuma kata tanpa makna, tetapi mungkin juga rima yang akan selalu meninggalkan jejak melebihi makna. Ah, apalah artinya estetika tanpa etiket yang saling berkesinambungan. Saya tak ingin memperkosa makna demi estetika semata. Saya tak akan lagi membatasi antusiasme saya untuk menuliskan apa saja tanpa menunggu atau berpikir kalau tulisan saya nantinya kurang artsy, obscure, puitis, atau apalah itu namanya. Hahahaha.

Jadi, mari berikan saya kesempatan untuk menjadi antusias kembali dan berziarah kedalam Nisan Duka. Mari dukung saya untuk memiliki sayap aforisme supaya lekas terbang bersama burung minerva yang terbang melambai di langit etruska.

Amin. Semoga.